Oleh TARDI SUTARDI, S.Pd.
"Pengalaman adalah guru yang paling baik". Kata-kata bijak ini masih efektif sampai sekarang, karena hakikat pendidikan merupakan proses transfer pengalaman dari generasi ke generasi. Pembelajaran karya sastra diharapkan menjadi salah satu sub bagian dari hakikat pendidikan yang paling lengkap, yang dapat mentransfer ilmu pengetahuan, moral, etika dan budaya.
KARYA sastra ditulis atau dipentaskan bertujuan agar pembaca atau penonton mempunyai gambaran fiksi yang dapat diaplikasikan ke dalam realita kehidupan. Karya sastra, terutama jenis prosa dan drama, dibangun dengan suatu kisah. Dilengkapi unsur intrinsik dan unsur ekstrinsiknya dengan segala aspek-aspek kehidupan, seperti lingkungan, politik, ekonomi, sosial, pendidikan, budaya, pertahanan keamanan nasional (lipoleksosdikbudhankamnas). Pembaca atau penonton diharapkan dapat mengambil pelajaran yang selanjutnya dapat menimbang, memilih, dan mengimplementasikannya untuk memperbaiki dirinya, yang sedang dan akan dilakukannya. Hal inilah yang diharapkan, karya sastra menjadi gambaran pengalaman dari realita kehidupan.
Di dalam pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia, pembelajaran sastra bertujuan agar siswa mempunyai kemampuan mengapresiasi dan berekspresi.
Ada beberapa masalah yang terungkap dari hasil pengamatan tindakan kelas yang dilakukan penulis.
1. Secara umum, kita sebagai guru banyak terjebak oleh tujuan atau kompetensi yang penjabaran indikatornya hanya sampai pengetahuan, pemahaman dan praktik berbahasa saja, tanpa dilandasi aspek sosial dan budaya atau keharusan mengimplementasikannya ke dalam kehidupan bermasyarakat setelah selesai pembelajaran. Kita puas, siswa kita dapat menjawab soal-soal yang diberikan baik di US maupun di UN, kurang peduli terhadap perubahan perilaku anak setelah tuntas pembelajaran atau nanti setelah lulus dari sekolah.
2. Kurangnya inovasi dalam memilih bahan atau media pembelajaran, cara mengapresiasi dan ekspresi karya sastra sehingga menjenuhkan bagi siswa. Jarang memanfaatkan isu lingkungan alam terbuka sebagai media pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia.
3. Anggapan yang salah, bahwa mata pelajaran bahasa dan sastra Indonesia dianggap paling mudah untuk dipelajari.
Di dalam pembelajaran karya sastra banyak yang paham tokoh itu antagonis jahat, sifat dan karakternya tidak baik, dicela oleh orang lain, tetapi tidak mengetahui bahwa dirinya sama dengan tokoh tersebut. Di tahun 1960-an sebutan tokoh Si Kabayan dalam dongeng Sunda sangat dihindari oleh semua orang karena karakter pemalasnya. Sekarang, karya sastra hanya dianggap sebagai hiburan, tontonan atau bacaan cerita fiksional saja.
Kita coba beberapa hal yang mungkin dapat kita lakukan dalam pembelajaran karya sastra yang berkaitan dengan teori di atas.
1. Tanamkan dan tumbuhkan kepada siswa bahwa dalam kehidupan itu perlu melihat pengalaman dan menjadikannya sebagai pelajaran. Bantulah mereka dalam mengungkap pesan cerita agar mereka dapat memilih dan memilah, yang boleh atau yang tidak boleh dilakukan dengan menyertakan akibat-akibatnya. Tunjukkan bahwa pengalaman tidak hanya dari kehidupan nyata, tetapi juga di dalam cerita fiksi yakni karya sastra, sepanjang karya sastra tersebut dapat dipahami secara logis. Tunjukkan bahwa yang terpenting dalam pembelajaran bukan hanya nilai evaluasi tetapi nilai kemampuan mengimplementasikannya di dalam kehidupan.
2. Memilih bahan yang menyenangkan siswa merupakan salah satu cara menghilangkan kejenuhan. Sudah waktunya media TV, media cetak atau lingkungan terbuka dijadikan salah satu alternatif media pembelajaran. Kita coba cerita-cerita yang disukainya dijadikan bahan pembelajaran apresiasi sastra. Kita coba lingkungan dijadikan inspirasi dalam berekspresi. Penulis masih ingat acara wayang golek dari RRI Bandung, sekitar tahun 1970-an. Di akhir cerita biasanya diulas dengan nada yang puitis oleh salah satu penyiar. Cara seperti itu sangat menyentuh hati. Orang awam wayang pun menjadi paham isi pesan dari cerita wayang tersebut sehingga menjadikannya sebagai pembelajaran hidup. Hal yang sama dapat kita ikuti jejak pengasuh Percil dalam menganalisis pesan sebuah pembelajaran karya sastra.
3. Hindari anggapan bahasa dan sastra Indonesia itu mudah. Jadikanlah pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia sebagai salah satu mata pelajaran yang penting dipelajari. Tumbuhkan motivasi bahwa bahasa Indonesia itu sebagai bagian terpenting dari orang-orang yang sukses dalam kariernya. Untuk para guru, tidak memaksakan diri menjadi guru bahasa dan sastra Indonesia jika hanya dijadikan pilihan kedua atau batu loncatan. Lakukan penyetaraan atau pengembangan karier yang berkualitas jika kita senang menjadi guru bahasa tetapi kompetensi kita tidak sesuai.***
"Pengalaman adalah guru yang paling baik". Kata-kata bijak ini masih efektif sampai sekarang, karena hakikat pendidikan merupakan proses transfer pengalaman dari generasi ke generasi. Pembelajaran karya sastra diharapkan menjadi salah satu sub bagian dari hakikat pendidikan yang paling lengkap, yang dapat mentransfer ilmu pengetahuan, moral, etika dan budaya.
KARYA sastra ditulis atau dipentaskan bertujuan agar pembaca atau penonton mempunyai gambaran fiksi yang dapat diaplikasikan ke dalam realita kehidupan. Karya sastra, terutama jenis prosa dan drama, dibangun dengan suatu kisah. Dilengkapi unsur intrinsik dan unsur ekstrinsiknya dengan segala aspek-aspek kehidupan, seperti lingkungan, politik, ekonomi, sosial, pendidikan, budaya, pertahanan keamanan nasional (lipoleksosdikbudhankamnas). Pembaca atau penonton diharapkan dapat mengambil pelajaran yang selanjutnya dapat menimbang, memilih, dan mengimplementasikannya untuk memperbaiki dirinya, yang sedang dan akan dilakukannya. Hal inilah yang diharapkan, karya sastra menjadi gambaran pengalaman dari realita kehidupan.
Di dalam pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia, pembelajaran sastra bertujuan agar siswa mempunyai kemampuan mengapresiasi dan berekspresi.
Ada beberapa masalah yang terungkap dari hasil pengamatan tindakan kelas yang dilakukan penulis.
1. Secara umum, kita sebagai guru banyak terjebak oleh tujuan atau kompetensi yang penjabaran indikatornya hanya sampai pengetahuan, pemahaman dan praktik berbahasa saja, tanpa dilandasi aspek sosial dan budaya atau keharusan mengimplementasikannya ke dalam kehidupan bermasyarakat setelah selesai pembelajaran. Kita puas, siswa kita dapat menjawab soal-soal yang diberikan baik di US maupun di UN, kurang peduli terhadap perubahan perilaku anak setelah tuntas pembelajaran atau nanti setelah lulus dari sekolah.
2. Kurangnya inovasi dalam memilih bahan atau media pembelajaran, cara mengapresiasi dan ekspresi karya sastra sehingga menjenuhkan bagi siswa. Jarang memanfaatkan isu lingkungan alam terbuka sebagai media pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia.
3. Anggapan yang salah, bahwa mata pelajaran bahasa dan sastra Indonesia dianggap paling mudah untuk dipelajari.
Di dalam pembelajaran karya sastra banyak yang paham tokoh itu antagonis jahat, sifat dan karakternya tidak baik, dicela oleh orang lain, tetapi tidak mengetahui bahwa dirinya sama dengan tokoh tersebut. Di tahun 1960-an sebutan tokoh Si Kabayan dalam dongeng Sunda sangat dihindari oleh semua orang karena karakter pemalasnya. Sekarang, karya sastra hanya dianggap sebagai hiburan, tontonan atau bacaan cerita fiksional saja.
Kita coba beberapa hal yang mungkin dapat kita lakukan dalam pembelajaran karya sastra yang berkaitan dengan teori di atas.
1. Tanamkan dan tumbuhkan kepada siswa bahwa dalam kehidupan itu perlu melihat pengalaman dan menjadikannya sebagai pelajaran. Bantulah mereka dalam mengungkap pesan cerita agar mereka dapat memilih dan memilah, yang boleh atau yang tidak boleh dilakukan dengan menyertakan akibat-akibatnya. Tunjukkan bahwa pengalaman tidak hanya dari kehidupan nyata, tetapi juga di dalam cerita fiksi yakni karya sastra, sepanjang karya sastra tersebut dapat dipahami secara logis. Tunjukkan bahwa yang terpenting dalam pembelajaran bukan hanya nilai evaluasi tetapi nilai kemampuan mengimplementasikannya di dalam kehidupan.
2. Memilih bahan yang menyenangkan siswa merupakan salah satu cara menghilangkan kejenuhan. Sudah waktunya media TV, media cetak atau lingkungan terbuka dijadikan salah satu alternatif media pembelajaran. Kita coba cerita-cerita yang disukainya dijadikan bahan pembelajaran apresiasi sastra. Kita coba lingkungan dijadikan inspirasi dalam berekspresi. Penulis masih ingat acara wayang golek dari RRI Bandung, sekitar tahun 1970-an. Di akhir cerita biasanya diulas dengan nada yang puitis oleh salah satu penyiar. Cara seperti itu sangat menyentuh hati. Orang awam wayang pun menjadi paham isi pesan dari cerita wayang tersebut sehingga menjadikannya sebagai pembelajaran hidup. Hal yang sama dapat kita ikuti jejak pengasuh Percil dalam menganalisis pesan sebuah pembelajaran karya sastra.
3. Hindari anggapan bahasa dan sastra Indonesia itu mudah. Jadikanlah pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia sebagai salah satu mata pelajaran yang penting dipelajari. Tumbuhkan motivasi bahwa bahasa Indonesia itu sebagai bagian terpenting dari orang-orang yang sukses dalam kariernya. Untuk para guru, tidak memaksakan diri menjadi guru bahasa dan sastra Indonesia jika hanya dijadikan pilihan kedua atau batu loncatan. Lakukan penyetaraan atau pengembangan karier yang berkualitas jika kita senang menjadi guru bahasa tetapi kompetensi kita tidak sesuai.***
Penulis, guru bahasa dan sastra Indonesia MTs. Al-Mukhlisin Bojongsoang Kab. Bandung.
0 komentar:
Posting Komentar